Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apakah dalam satu tubuh hanya ada satu anggota?
Apa jadinya bila salah satu anggota tubuh tidak berfungsi?
Apa yang terjadi bila salah satu anggota menderita?
Dalam perikop ini Paulus menggunakan gambaran tubuh sebagai ilustrasi utama untuk menjelaskan pentingnya keberagaman dalam kesatuan jemaat.
Konsep ini sangat kuat secara budaya, karena dalam masyarakat Yahudi dan Yunani kuno, tubuh sering dipakai sebagai metafora untuk organisasi sosial—menunjukkan bahwa setiap bagian memiliki fungsi yang unik tetapi tidak terpisahkan satu sama lain.
Secara teologis, Paulus sedang menegaskan bahwa semua anggota jemaat, tanpa memandang karunia atau status mereka, memiliki nilai dan peran yang setara dalam tubuh Kristus.
Tampaknya pada saat itu Jemaat Korintus sedikit terpecah, dengan kecenderungan untuk membanggakan karunia rohani tertentu—terutama yang tampak spektakuler seperti berbahasa roh atau nubuat—dan merendahkan yang lain.
Paulus membongkar pandangan ini dengan menyatakan bahwa bahkan bagian tubuh yang “tampaknya lebih lemah” justru sangat diperlukan (ayat 22), dan bagian yang kurang terhormat diberikan kehormatan yang lebih besar (ayat 23).
Bayangkan seseorang sedang berjalan di hutan tanpa alas kaki.
Tanpa sengaja, sebuah duri kecil menusuk jari kakinya. Luka itu kecil—nyaris tak terlihat.
Tapi begitu duri itu masuk, seluruh tubuhnya bereaksi: dia berhenti berjalan, tangannya segera turun memegang kaki, wajahnya meringis kesakitan, bahkan aliran darah mulai mengirimkan sinyal ke otak bahwa ada bahaya.
Padahal itu hanya satu jari kecil dari keseluruhan tubuhnya.
Tapi tubuh tidak berkata, “Ah, itu cuma jari kaki, biar saja.” Tidak.
Tubuh langsung bekerja sama untuk melindungi dan merawat bagian yang terluka: tangan menarik durinya, mata fokus mencari sumber luka, kaki yang lain menopang berat tubuh, bahkan otak mengingatkan agar dia berhati-hati ke depan.
Semuanya bergerak bersama demi satu bagian yang sedang menderita.
Demikian juga jemaat Kristus. Kita bukan hanya kumpulan orang-orang yang berjalan bersama, tapi tubuh rohani yang hidup.
Ketika satu orang sedang mengalami kesedihan, kejatuhan, atau penderitaan, kita tidak bisa berkata, “Itu urusannya sendiri.”
Jika kita benar-benar tubuh Kristus, penderitaannya adalah juga penderitaan kita.
Kita menangis bersamanya, menopang beban yang ia tanggung, dan mengangkatnya hingga sembuh kembali.
Dalam dunia yang semakin individualistis, pesan ini sangat radikal dan penuh kasih: Seperti tubuh yang tidak bisa mengabaikan luka kecil, demikianlah jemaat yang sejati tak bisa tinggal diam ketika satu anggotanya terluka.
Diskusikan dengan kelompok PA dan persekutuan kita, mengenai topik ini dengan lebih mendalam. Bagaimana kita bisa praktekkan dalam kehidupan sehari-hari dan berkat apa yang didapat dari melakukan Firman Tuhan ini.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apakah kewajiban kita bagi orang lan atau saudara yang lebih lemah?
Apakah yang harus kita usahakan dan cari bagi sesama?
Apakah Kristus mencari kesenanganNya sendiri?
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus mengajak jemaat untuk hidup dalam semangat saling menanggung kelemahan dan mencari kebaikan bersama.
Secara konteks, surat Roma ditujukan kepada jemaat yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi (bangsa-bangsa lain), yang memiliki latar belakang budaya, hukum, dan kebiasaan ibadah yang sangat berbeda.
Ketegangan antara kelompok “yang kuat” (kemungkinan besar non-Yahudi atau Yahudi yang bebas dari hukum Taurat secara ketat) dan “yang lemah” (mereka yang masih terikat pada praktik-praktik tradisional Yahudi) menjadi tantangan dalam komunitas Kristen awal.
Paulus, sebagai seorang Farisi yang paham mendalam akan hukum Taurat dan budaya Yahudi, memahami betul pentingnya menjaga kesatuan dalam perbedaan.
Bayangkan sebuah keluarga besar yang sedang mengadakan acara makan malam syukur di halaman rumah.
Meja panjang sudah disiapkan, kursi tertata rapi, dan makanan tersedia melimpah.
Anggota keluarga inti sudah duduk, tetapi tiba-tiba datang beberapa tamu tak diundang—ada tetangga baru yang belum dikenal, ada anak-anak kecil yang belum tahu sopan santun makan bersama, dan bahkan ada seorang kakek yang jalannya lambat dan memerlukan bantuan.
Sebagian orang di meja merasa terganggu. Mereka berpikir, “Kenapa mereka harus ikut? Mereka bahkan tidak membawa apa-apa.”
Namun sang pemilik rumah—kepala keluarga—berdiri, tersenyum, dan berkata, “Tolong, ambilkan kursi tambahan.
Geser sedikit mejanya. Kita luaskan tendanya. Mereka juga bagian dari pesta ini.”
Begitulah gambaran dari ajakan Paulus dalam Roma 15.
Seperti Kristus telah menyambut kita semua—yang dulunya orang luar, orang berdosa, dan lemah—maka kita pun dipanggil untuk menjadi rumah yang terbuka, bukan eksklusif.
Ketika kita menyambut orang lain yang berbeda dengan kasih dan kesabaran, kita tidak hanya menciptakan keharmonisan sosial, tetapi kita memuliakan Allah.
Karena penerimaan semacam itu adalah bayangan dari kasih Kristus sendiri.
Bagi kita hari ini, Firman Tuhan ini adalah pengingat bahwa kita tidak boleh mudah menyalahkan atau menjauhi saudara seiman hanya karena mereka belum sempurna atau berbeda dengan kita.
Namun, seperti Kristus yang tidak membiarkan siapapun yang datang kepada-Nya binasa, marilah kita juga belajar untuk menanggung kelemahan saudara yang tidak kuat, dengan penuh kasih, tanpa syarat, dan dalam kesabaran.
Karena di situlah kesatuan gereja terjaga, dan kemuliaan Allah terlihat nyata.
Diskusikan dengan kelompok PA dan persekutuan kita, mengenai topik ini dengan lebih mendalam. Bagaimana kita bisa praktekkan dalam kehidupan sehari-hari dan berkat apa yang didapat dari melakukan Firman Tuhan ini.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Dimanakah ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan?
Bagaimana kita seharusnya menganggap kepentingan saudara yang lain?
Pikiran dan perasaan seperti apakah yang harus senantiasa ada dalam hidup kita?
Dalam Filipi 2:1–5, Rasul Paulus menasihati jemaat di Filipi untuk hidup dalam kesatuan, kasih, dan kerendahan hati.
Nasihat ini disampaikan dalam konteks budaya Romawi yang sangat menjunjung tinggi status sosial, kehormatan pribadi, dan pencapaian diri.
Paulus justru membalikkan nilai-nilai tersebut dengan menyerukan kehidupan yang saling mengutamakan satu sama lain, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan meneladani sikap Yesus Kristus yang penuh kerendahan hati.
Ini adalah pesan yang sangat radikal di tengah masyarakat Romawi yang sangat kompetitif dan hirarkis.
Paulus menggunakan istilah kenodoxia (kemuliaan yang kosong atau kesombongan yang sia-sia) untuk menggambarkan sikap yang harus dijauhi, dan menekankan bahwa setiap orang harus menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri.
Ini adalah nilai yang bertentangan tajam dengan budaya Romawi yang mengagungkan diri.
Dalam dunia Yahudi pun, ini merujuk pada nilai-nilai seperti yang tertulis dalam Mikha 6:8 — hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.
Paulus sedang membentuk kembali pemahaman mereka tentang kehormatan, bukan sebagai sesuatu yang diraih melalui kekuasaan, melainkan melalui pelayanan dan pengorbanan.
Bayangkan sebuah orkestra besar.
Di sana ada pemain biola, cello, klarinet, trompet, dan begitu banyak alat musik lainnya.
Masing-masing pemain adalah profesional berbakat yang memiliki kemampuan luar biasa.
Namun ketika mereka mulai bermain, tidak ada satupun yang menonjolkan dirinya.
Tidak ada pemain yang berkata, “Saya harus lebih keras dari yang lain agar terdengar!” Sebaliknya, mereka semua tunduk pada satu konduktor.
Mereka menyelaraskan irama, tempo, dan dinamika—bukan demi kepentingan pribadi, tapi demi menghasilkan harmoni yang indah bersama.
Ketika semua instrumen berbeda itu bersatu, hadirin pun terdiam dalam kekaguman.
Kristus adalah Konduktor Agung kita.
Dialah yang terlebih dahulu mengosongkan diri, turun dari kemuliaan-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba.
Dia tidak memaksakan kehendak-Nya, tetapi taat kepada kehendak Bapa sampai mati di kayu salib.
Ketika kita memiliki pikiran dan sikap seperti Kristus, kehidupan kita akan menjadi seperti simfoni yang memuliakan Allah—penuh kasih, kesatuan, dan pengorbanan.
Diskusikan dengan kelompok PA dan persekutuan kita, mengenai topik ini dengan lebih mendalam. Bagaimana kita bisa praktekkan dalam kehidupan sehari-hari dan berkat apa yang didapat dari melakukan Firman Tuhan ini.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apa motif ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang cara memperoleh hidup yang kekal?
Apa jawaban Yesus terhadap pertanyaan yang dilontarkan oleh ahli Taurat kepadaNya? (ayat 26)
Apa tanggapan ahli Taurat itu terhadap jawaban dan sekaligus pertanyaan balik Yesus kepada ahli Taurat itu? (ayat 27)
Jelaskan jawaban Yesus terhadap pertanyaan yang dilontarkan oleh ahli Taurat kepadaNya, tentang perumpamaan “siapakah sesamaku manusia”?
Jawab ahli Taurat itu kepada Yesus “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” Apa yang Yesus katakan/perintahkan kepada ahli Taurat itu? (ayat 37c)
Ketika ahli Taurat bertanya kepadaNya, Yesus tahu persis bahwa dia hafal isi hukum Taurat serta semua turunannya, yaitu sekitar 613 hukum.
Yesus dengan penuh hikmat menjawab apa yang ahli Taurat itu tanyakan, namun kali ini Yesus menjawab pertanyaannya dengan menggunakan perumpamaan, agar semua orang yang mendengar mudah mencerna dan memahaminya.
Perhatikan bahwa Yesus “sengaja” menjelaskan perumpamaanNya menggunakan tokoh-tokoh yang tidak asing di telinga ahli Taurat.
Yesus memakai tokoh “imam” di mana zaman itu dianggap tokoh yang sangat penting, memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan sekaligus pengajar hukum taurat.
Mereka sangat dihormati oleh masyarakat Yahudi. Begitu pula dengan orang “Lewi.”
Mereka mewakili tokoh-tokoh yang memiliki peran penting dalam pelayanan di bait suci di Yerusalem oleh masyarakat Yahudi.
Selain dikenal penyanyi dan pemain musik di ibadah bait suci, orang Lewi juga memiliki pengetahuan yang cukup tinggi karena mereka juga sebagai pengajar hukum taurat.
Sementara tokoh orang “Samaria”, pada zaman itu dianggap kelompok yang tidak disukai, dijauhi bahkan kelompok yang dihindari oleh orang Yahudi karena mereka ini bukan orang Yahudi asli, melainkan campuran.
Sehingga mereka dianggap najis oleh orang Yahudi.
Dari perumpamaan yang kita baca hari ini, hanya orang Samaria yang Yesus sebut sebagai “sesama manusia yang jatuh di tangan penyamun”.
Orang Samaria itu memiliki belas kasihan yang dibuktikan.
Belas kasihan yang mengabaikan kepentingannya yang harus diselesaikan saat itu.
Dia memberikan yang terbaik apa yang dia mampu berikan, dan dari apa yang dia miliki.
Mari kita terus mempraktekkan tindakan saling mengasihi dan memperhatikan kebutuhan sesama, tanpa melihat latar belakang, memperhitungkan untung rugi, membeda-bedakan status sosial, agama, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan Firman, dan lainnya.
Kasih tidak bergantung kepada keadaan di luar kita, tetapi kepada keputusan dalam diri kita.
Kata Yesus kepada ahli Taurat itu, juga kepada kita murid-muridNya saat ini “Pergilah dan perbuatlah demikian! (seperti yang orang Samaria lakukan)”.
Dalam melakukan tindakan saling mengasihi dan memperhatikan kebutuhan sesama, tidak perlu berteori, tidak perlu didiskusikan. Mari kita belajar bersama-sama melakukannya!. Mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal-hal kecil atau sederhana dan mulailah dari hari ini!
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Hukum manakah yang paling terutama menurut Tuhan Yesus?
Hukum kedua manakah yang sama seperti hukum pertama?
Yesus pasti mengetahui bahwa golongan Saduki adalah salah satu golongan yang paham betul dan” taat” dengan ajaran hukum Taurat.
Orang Saduki itu bertanya tentang hukum manakah yang paling utama dalam kitab suci?
maka jawab Yesus: “Hukum yang terutama: dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
Hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
JawabanNya sama seperti isi doa “Shema Israel” yang pasti diketahui dan selalu diucapkan oleh orang-orang Yahudi termasuk orang Saduki pada masa itu.
Bahkan jawaban Yesus ditegaskan kembali oleh ahli Taurat.
Dengan kata lain ahli Taurat mengakui dan setuju dengan jawaban Yesus (perlu di ingat, sangat jarang kita temui bahwa ahli taurat setuju dengan perkataan Yesus).
Berbicara dalam konteks agama, Kristen adalah agama yang dikenal mengajarkan tentang hukum Kasih dibandingkan dengan agama – agama lain yang ada di dunia saat ini.
Surat 1 Yohanes 4:8c mengatakan “Sebab Allah adalah Kasih”. Yang dibuktikan Bapa mengutus anakNya ke dunia ini untuk menderita, memberikan nyawaNya mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia.
Itulah bukti nyata bahwa Allah yang berinisiatif mengasihi kita. KasihNya tanpa batas.
Selama Dia hidup 33,5 thn lamanya, Yesus selalu konsisten menunjukkan perbuatan kasih dimanapun Dia berada.
Pertanyaan untuk kita semua yang percaya kepada Dia, apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Dia?
Mari kita buktikan dengan tindakan nyata, misalkan konsisten sabar terhadap orang-orang yang membuat kita marah atau kesal, mengasihi orang yang mungkin pernah mengecewakan atau merugikan kita.
Kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita, bersedia dengan tulus berbuat baik dengan memberikan “bantuan apa saja” yang kita mampu.
Renungan hari ini mengingatkan kita kembali, apakah betul kita mengasihi Allah yang tidak bisa dilihat oleh mata, sedangkan manusia yang kita bisa lihat terkadang sulit untuk kita kasihi?
Hal itu sesuai dengan hukum kasih yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri.
Saudaraku, marilah kita terus belajar untuk saling mengasihi sesama manusia, sebab kasih itu berasal dari Allah.
Setiap orang yang mengasihi lahir dan mengenal Allah.
Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. (lihat 1 Yohanes 4:7-8).
Dalam melakukan tindakan kasih itu, tidak perlu berlama-lama dalam teori. Mari kita belajar bersama-sama melakukannya! Mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal-hal kecil atau sederhana dan mulailah dari hari ini!
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Mengapa Yesus menekankan pentingnya kesatuan murid-murid seperti kesatuan antara Dia dan Bapa?
Bagaimana Yesus menggambarkan peran-Nya dalam menjaga para murid selama Ia ada di dunia?
Yesus tahu bahwa Ia akan segera disalibkan, bahwa saatnya akan tiba, Dia akan kembali kepada Bapa dan akan meninggalkan murid-murid-Nya.
Yesus merasakan kesedihan karena akan berpisah secara fisik dari murid-muridNya, yang telah berjalan bersama-Nya selama tiga tahun.
Namun, doa-Nya bukan doa keluhan, melainkan penyerahan diri kepada Bapa, yang menunjukkan kedamaian dan pengharapan yang dalam.
Seluruh isi doa-Nya menunjukkan betapa dalam kasih Yesus kepada murid-murid-Nya.
Ia berdoa agar mereka dipelihara, disatukan, dikuduskan, dan mengalami kemuliaan bersama-Nya.
Ini menunjukkan kerinduan Yesus agar mereka tetap dekat dengan Allah meskipun Ia pergi.
Yesus berpikir tentang kondisi murid-murid-Nya. Ia menyadari mereka akan menghadapi tantangan besar tanpa kehadiran fisik-Nya.
Maka Ia berdoa agar mereka tetap dalam kasih dan kesatuan, sama seperti kesatuan antara Yesus dan Bapa.
Yesus juga sadar bahwa dunia akan membenci murid-murid-Nya karena mereka memiliki firman-Nya dan hidup dalam kebenaran.
Oleh karena itu Ia berdoa untuk perlindungan mereka dari yang jahat.
Ia tidak meminta agar mereka diambil dari dunia, tetapi agar mereka dikuatkan.
Dan yang luar biasa, Tuhan Yesus juga berpikir tentang kita, generasi yang akan percaya melalui pemberitaan para murid. Ia berdoa agar semua orang percaya dari zaman ke zaman menjadi satu, sehingga dunia dapat melihat kasih Allah yang nyata.
Tuhan Yesus menutup doa-Nya dengan menyatakan kerinduan-Nya agar semua orang percaya melihat kemuliaan-Nya, yaitu berada bersama-Nya kelak dalam kekekalan.
Ia ingin kita umat tebusan-Nya mengalami kasih-Nya, yaitu Kasih yang telah ada sebelum dunia dijadikan.
Doa Yesus ini mengungkapkan bahwa di saat-saat paling berat menjelang penderitaan-Nya, Yesus tidak memikirkan diri-Nya sendiri, tetapi memikirkan kita. Tuhan Yesus mengasihi kita umat tebusan-Nya, dan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai Gembala Agung atas murid-murid-Nya.
Yesus berdoa agar kita: dipelihara dalam kebenaran, dilindungi dari si jahat. disatukan dalam kasih, dipenuhi dengan sukacita surgawi dan mengalami kemuliaan kekal bersama-Nya.
Saudara, dalam kelompok pemuridan, diskusikan apakah engkau hidup dalam kesatuan, ataukah engkau membiarkan perpecahan, kebencian, atau ego menguasai relasimu dengan saudara seiman? Dan ketika engkau menghadapi tantangan, apakah engkau percaya bahwa Tuhan tidak membiarkanmu sendirian?
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Bagaimana sikap kita ketika diperlakukan secara tidak adil?
Hal-hal apa saja yang membuat seseorang tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?
1 Korintus 6:7 ”Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu. Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?”
Firman Tuhan ini adalah tentang perilaku dengan kategori: the next level! Tuhan ingin membawa umat-Nya untuk masuk dalam tingkatan rohani yang semakin tinggi.
Yang pertama. “Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu”.
Hal ini berarti Tuhan ingin agar ada kerukunan yang sejati di antara saudara seiman.
Ini bisa terwujud jika satu dengan yang lain saling mengasihi dan mudah untuk memberikan pengampunan.
Alkitab memberikan contoh bagaimana perbedaan pendapat terjadi antara Petrus dan Paulus (lihat Galatia 2:11-14).
Paulus menegur Petrus karena Petrus bersikap munafik yaitu dia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah orang Yahudi datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat.
Petrus dengan rendah hati menyadari bahwa dia salah dan menyebut Paulus sebagai sebagai “saudara kita yang kekasih” (2 Petrus 3:15).
Yang kedua. “Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?” Saudara,hanya orang yang dewasa rohani yang bisa tetap bersukacita ketika diperlakukan tidak adil.
Untuk tujuan yang lebih besar, Tuhan ingin agar kita mampu untuk mengalah, dirugikan tanpa mengorbankan kebenaran.
Ingat bagaimana sikap Abraham kepada Lot seperti yang terdapat dalam Kejadian 13:1-18.
Pada waktu itu, Abraham dan keponakannya, Lot, memiliki harta yang sangat banyak, sehingga terjadi pertengkaran di antara para pegawai mereka.
Abraham sebagai paman, dia bisa meminta keponakannya, Lot, untuk berpindah ke tempat yang lebih jauh.
Tetapi apa yang dilakukan Abraham adalah dia meminta Lot untuk memilih tempat terlebih dulu.
“Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri.” (Kejadian 13:9).
Dan Lot memilih tanah yang tampak lebih subur, yaitu wilayah lembah sungai Yordan yang di situ terdapat kota Sodom dan Gomora.
Abraham bersedia mengalah, dia bersedia melepaskan hak sebagai yang lebih senior, dia bersedia untuk rugi dengan memilih tanah yang lebih tandus.
Dan akhir cerita, kita tahu bahwa ternyata Lot salah memilih, lokasi tanah yang tampak lebih subur ternyata menyimpan kejahatan dan dosa yang sangat buruk.
Saudara, dalam kelompok pemuridan, diskusikan tentang bagaimana konflik sering terjadi, misalnya berebut warisan antar saudara. Diskusikan bagaimana solusi hal-hal seperti itu menurut kebenaran Firman Tuhan.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Manakah yang lebih berharga: melakukan mujizat kesembuhan atau melakukan kehendak Bapa?
Manakah yang lebih penting: berkhotbah atau mentaati perintah Tuhan?
Setiap orang yang mengasihi Tuhan, mereka akan rindu untuk melayani Tuhan sesuai dengan bakat dan karunia rohani yang mereka miliki.
Ada yang dipanggil dalam pelayanan musik dan pujian: sebagai penyanyi di gereja, worship leader, pemusik, ikut dalam paduan suara dan sebagainya.
Ada orang-orang tertentu yang memiliki kharisma khusus dalam berkhotbah sehingga jika berkhotbah, maka banyak orang yang dikuatkan, dimotivasi, diteguhkan.
Atau orang yang memiliki karunia melakukan mujizat (1 Korintus 12:28), sehingga dia banyak melakukan mujizat kesembuhan, mengusir roh jahat bahkan membangkitkan orang mati.
Ya, banyak orang yang dipanggil untuk melayani dan mereka akan melayani sesuai dengan talenta dan panggilan Allah.
Baik sebagai diaken, penginjil, pengajar, pendeta, pengkhotbah, misionaris atau utusan misi.
Semua itu baik jika dilakukan dengan benar.
Tetapi Tuhan memberikan peringatan yang sangat keras bagi umat Tuhan, termasuk para hamba Tuhan: diaken, pendeta, pengkhotbah dan semua orang yang acap kali disebut sebagai pelayan Tuhan.
Peringatan itu adalah: “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:22,23).
Ini adalah peringatan bagi kita semua, terlebih bagi kita yang sudah melayani Tuhan.
Karena Tuhan menilai bukan dari apa yang tampak kita lakukan, tetapi bagaimana seseorang melakukannya.
Orang bisa melakukan banyak pelayanan rohani yang hebat, tetapi ketika motifnya adalah agar orang memuji dia, menghormati dia, maka sesungguhnya dia bukan sedang melani Tuhan, tetapi melayani ego atau keinginannya sendiri.
Tuhan ingin agar kita melakukan kehendak-Nya saja.
Karena hanya dengan melakukan kehendak-Nya, maka apa yang kita lakukan, termasuk pelayanan kita, menjadi berarti di hadapan Tuhan.
Saudara, dalam kelompok pemuridan, diskusikan tentang berbagai jebakan rohani, yaitu hal-hal yang tampak baik di mata manusia tetapi sesungguhnya itu adalah hal yang mendukakan Roh Kudus.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apakah konsekuensi atas kemarahan?
Apakah yang harus dilakukan kalau Tuhan mengingatkan engkau tentang pertengkaranmu dengan saudara seiman?
Oleh anugerah kita diselamatkan oleh karya Kristus di kayu salib, dosa kita diampuni, kita memperoleh damai sejahtera Kristus yang membuat kita kuat, teguh dan berlimpah dalam sukacita.
Itu anugerah yang tidak mampu kita bayar.
Ketika kita dilahirkan kembali, kita seperti bayi rohani di dalam Tuhan.
Kita berperilaku seperti bayi, diberi minum susu, bubur dan makanan lunak lainnya.
Tetapi kita tentu tidak akan terus menerus menjadi bayi, orang tua kita tentu mengharapkan kita bertumbuh menjadi dewasa, dan ketika kita semakin dewasa, bukan bubur yang kita makan, tetapi makanan keras.
Demikian juga kita dalam pandangan Allah Bapa.
Dia ingin agar kita pun menjadi semakin dewasa di dalam Tuhan. Kita diajar tidak saja dengan pengajaran-pengajaran dasar seperti melakukan saat teduh, berdoa, tetapi Tuhan ingin agar kita juga memakan makanan keras seperti hidup dalam ketaatan kepada Tuhan, mengikut Dia berapapun harga yang harus kita bayar.
Kita hidup dalam kebenaran yang sejati, bukan sekadar menaati hukum atau berbuat baik, tetapi hidup dalam hubungan yang benar dengan Allah melalui Kristus dan Roh-Nya yang ada dalam kita.
Kita menjalani hidup yang mencerminkan karakter Allah: kasih, kekudusan, belas kasihan kepada mereka yang berdosa.
Kasih merupakan nilai kehidupan yang sangat penting karena Allah adalah Kasih (1 Yohanes 4:8).
Ciri utama dari orang yang hidup dalam kebenaran adalah ketika dia hidup dalam kasih, mengasihi keluarganya, mengasihi saudara seiman, bahkan mengasihi musuh atau orang yang membencinya (Matius 5:44).
Ciri yang lain dari orang yang hidup dalam kebenaran adalah dia hidup dalam kekudusan.
Mengapa? Karena Allah adalah Kudus.
Imamat 11:45 “Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.”
Allah menghendaki umat-Nya kudus karena Dia adalah kudus.
Hidup dalam kekudusan berarti hidup dalam terang, tidak menyimpan dosa, tidak suka melakukan hal-hal yang akan membuat Roh Kudus berduka.
Saudara, dalam kelompok pemuridan, tanyakanlah bagaimana pendapat pembimbing rohanimu tentang kehidupanmu dan renungkan apa pun yang menjadi pendapatnya tentang dirimu.