Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apakah dalam kehidupan sehari-hari saya lebih sering merasa seperti seorang “hamba” yang takut dihukum atau seperti seorang “anak” yang dikasihi dan dekat dengan Bapa?
Kapan terakhir kali saya benar-benar merasakan keintiman untuk memanggil Allah “Abba, Bapa” dalam doa saya?
Bagaimana Roh Kudus biasanya “bersaksi” dan meyakinkan saya bahwa saya adalah anak Allah, terutama saat saya merasa lemah dan gagal?
“Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah”. (Roma 8:16).
Bagi banyak orang di jaman Rasul Paulus, hubungan dengan Allah adalah sesuatu yang jauh, formal, dan transaksional.
Mereka harus datang kepada Allah melalui perantara, mempersembahkan korban, dan taat pada banyak peraturan dengan harapan agar Dia berkenan.
Gambaran tentang Allah lebih seperti seorang Hakim yang agung atau Raja yang jauh.
Dalam konteks inilah Paulus menulis suratnya kepada jemaat di Roma. Ia ingin meluruskan pemahaman yang keliru ini.
Melalui Kristus, segalanya telah berubah.
Injil yang dibawa Paulus bukanlah tentang peraturan baru, tetapi tentang sebuah hubungan yang baru.
Sebuah hubungan yang begitu dekat dan intim, yang dipermudah oleh karya Roh Kudus di dalam hati setiap orang percaya.
Paulus menggunakan dua istilah yang bertolak belakang: “roh perhambaan” dan “Roh yang menjadikan kamu anak Allah”.
Hidup dalam “roh perhambaan” adalah hidup yang penuh beban.
Kita merasa harus membuktikan diri, takut melakukan kesalahan, dan selalu was-was akan penghukuman.
Itu adalah kehidupan yang melelahkan.
Tetapi, Roh yang diberikan Allah kepada kita adalah Roh yang membebaskan.
Dia tidak menjadikan kita hamba, tetapi anak-anak-Nya.
Seorang anak tidak perlu membuktikan apapun untuk dicintai ayahnya.
Kasih itu sudah pemberian. Statusnya sudah pasti.
Inilah yang Roh Kudus kerjakan: Dia mengubah mentalitas kita dari mentalitas hamba yang takut menjadi mentalitas anak yang tahu bahwa ia diterima dan dikasihi.
Bukti paling nyata bahwa kita adalah anak-anak adalah keintiman kita dengan Bapa.
Roh Kudus mengajarkan mulut kita untuk memanggil “Abba, ya Bapa!”.
Ini adalah seruan yang spontan, penuh kepercayaan, dan kasih.
Ini adalah doa yang keluar dari hati seorang anak yang tahu ia dipeluk oleh ayahnya.
Di saat-saat ketika kita ragu, ketika dosa membuat kita merasa tidak layak, atau ketika keadaan terasa berat, Roh Kudus tidak diam.
Dia “bersaksi bersama-sama dengan roh kita”.
Dia membisikkan kebenaran ke dalam hati kita, mengingatkan kita akan janji-janji Firman Tuhan, dan meyakinkan kita bahwa kita tetap adalah anak-anak Allah yang berharga, sekalipun perasaan kita berkata lain.
Lalu, bagaimana kita hidup sebagai anak-anak Allah sehari-hari?
Pertama, tolaklah mentalitas hamba.
Ketika Anda berdoa, ingatlah bahwa Anda datang kepada seorang Bapa, bukan kepada seorang hakim yang menunggu untuk menghakimi kesalahan Anda.
Kedua, praktikkan keintiman dengan memanggil “Abba, Bapa”.
Jadikan ini sebagai bagian dari doa-doa pribadi Anda.
Ungkapkan hati Anda kepada-Nya dengan jujur dan percaya, seperti seorang anak bercerita kepada ayahnya yang dikasihi.
Ketiga, peganglah kesaksian Roh.
Saat keraguan dan ketakutan datang, jangan andalkan perasaan.
Berpeganglah pada kebenaran Firman Tuhan dalam Roma 8:16. Katakan, “Roh Allah bersaksi bahwa saya adalah anak-Nya.”
Biarkan kebenaran ini yang membentuk identitas, harga diri, dan keberanian Anda.
Hidup dalam realitas sebagai anak Allah akan mengubah cara Anda menghadapi setiap tantangan kehidupan.
Diskusikan dalam kelompok PA, bagaimana caranya menyadari posisi sebagai anak Allah secara konsisten.
ROH YANG MEMBANGKITKAN KEKUATAN, KASIH DAN KETERTIBAN
Penulis : Pdt. Saul Rudy Nikson
Pembacaan Alkitab Hari ini :
2 TIMOTIUS 1:3-8
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Karunia rohani apa yang Tuhan telah taruh dalam hidupku yang mungkin perlu “ku kobarkan kembali” untuk digunakan bagi kemuliaan-Nya?
Di area kehidupanku yang mana rasa takut (akan penolakan, kegagalan, atau penderitaan) lebih sering menguasai diriku daripada kuasa Roh Kudus?
Bagaimana praktiknya memiliki “pikiran yang tertib” (jernih dan terkendali) ketika menghadapi tekanan dan badai kehidupan?
“Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2 Timotius 1:7).
Bayangkan diri Anda di posisi Timotius.
Anda adalah seorang pemimpin muda yang harus menggantikan figur sebesar Rasul Paulus.
Di luar, penganiayaan semakin menjadi. Di dalam jemaat, banyak yang menyimpang dari ajaran benar dan mulai meninggalkan Anda.
Perasaan takut, tidak mampu, dan sendiri pasti sangat besar.
Dalam situasi seperti inilah Paulus menulis surat ini.
Ia tidak menyalahkan Timotius, tetapi ia memahami betul pergumulan yang dihadapi anak rohaninya itu.
Surat ini adalah teriakan semangat dari seorang veteran pelayanan yang hampir selesai menjalani pertandingannya, kepada penerusnya yang sedang berada di tengah-tengah medan pertempuran yang paling sengit.
Seringkali ketika kita menghadapi masalah, kita berdoa meminta karunia atau kemampuan baru dari Tuhan.
Namun, nasihat Paulus justru berbeda: “mengobarkan kembali” karunia yang sudah ada.
Tuhan telah menaruh potensi dan karunia Roh dalam hidup setiap orang percaya, seringkali melalui doa dan peneguhan dari orang-orang rohani di sekitar kita (seperti penumpangan tangan Paulus).
Tantangan, rutinitas, dan kekecewaan bisa membuat “api” karunia itu meredup.
Tuhan tidak memanggil kita untuk menciptakan api baru, tetapi untuk mengipasi bara yang sudah ada hingga menjadi nyala api yang besar lagi.
Ini membutuhkan inisiatif kita: untuk berdoa, melayani, belajar, dan melangkah dalam iman meski ragu.
Ayat 7 adalah janji yang begitu menghibur.
Sumber masalah Timotius (dan seringkali kita juga) adalah “roh ketakutan”.
Ketakutan adalah musuh iman.
Itu membuat kita lumpuh, menarik diri, dan diam.
Tetapi Paulus dengan tegas menyatakan bahwa Roh yang ada di dalam kita adalah Roh yang sama yang membangkitkan Kristus dari kematian!
Roh itu memberikan kita:
(1) Kekuatan untuk menghadapi apa yang tidak bisa kita hadapi sendiri;
(2) Kasih untuk mengasihi orang yang sulit dikasihi dan tetap setia kepada Tuhan; dan
(3) Ketertiban (pikiran yang jernih dan terkendali) untuk tidak panik, tidak mengambil keputusan gegabah, dan tetap berfokus pada kebenaran Firman Tuhan di tengah kekacauan.
Lalu, bagaimana kita menerapkannya?
Pertama, ingatlah warisan imanmu.
Seperti Timotius yang diingatkan pada iman neneknya, ingatlah saat-saat Tuhan setia dalam hidupmu dan keluargamu.
Itu adalah fondasi yang kokoh.
Kedua, bertindaklah untuk mengobarkan karuniamu.
Jika karuniamu adalah mengajar, mulailah mempersiapkan sebuah renungan kecil.
Jika melayani, carilah kesempatan untuk menolong.
Jangan tunggu sampai rasa takut hilang, lakukanlah dengan mengandalkan Roh-Nya.
Ketiga, tolaklah roh ketakutan dengan mengklaim janji Firman Tuhan.
Ketika rasa takut datang, katakan dengan lantang, “Allah memberikan kepadaku bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban!”
Hadapi tantangan dengan keyakinan bahwa kuasa untuk melewatinya sudah ada di dalam dirimu, yaitu Roh Kudus sendiri.
Dengan demikian, kita bukan hanya akan bertahan, tetapi akan bertumbuh dan menjadi berani bagi Injil Kristus.
Diskusikan dalam kelompok PA saudara, diskusikan apakah yang dimaksud roh membangkitkan ketertiban.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apakah saya masih sering “membangun kembali” standar kesalehan saya sendiri untuk merasa diterima oleh Allah, padahal Kristus sudah menyelesaikannya?
Bagaimana saya dapat lebih menyadari dalam kehidupan sehari-hari bahwa “bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”?
Di area kehidupan mana saja saya masih mengandalkan kekuatan sendiri, sehingga tanpa sadar telah menyia-nyiakan kasih karunia Allah?
“namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:20).
Jemaat Galatia berada dalam kebingungan.
Mereka telah menerima Kabar Baik tentang keselamatan oleh kasih karunia melalui iman kepada Kristus.
Namun, datanglah guru-guru yang meyakinkan mereka bahwa iman saja tidak cukup; mereka perlu juga menaati hukum-hukum agama Yahudi untuk benar-benar menjadi orang percaya.
Mereka diajak untuk kembali membangun sistem agama yang sebenarnya telah dirombak oleh Kristus di kayu salib.
Situasi ini tidak jauh berbeda dengan kita hari ini.
Begitu mudahnya kita terjerumus dalam pemikiran bahwa keselamatan adalah “iman di dalam Kristus PLUS sesuatu yang lain”: plus pelayanan yang rajin, plus memberi persembahan yang besar, plus tidak melakukan dosa-dosa “besar”.
Tanpa sadar, kita membangun kembali tembok yang telah diruntuhkan oleh Kristus.
Paulus memberikan sebuah prinsip yang radikal: kita harus mati untuk benar-benar hidup.
Mati di sini bukanlah mati secara fisik, tetapi mati terhadap keyakinan bahwa kita bisa menyenangkan Allah dengan usaha dan kekuatan kita sendiri.
Hukum Taurat—atau dalam konteks kita, daftar aturan agama—berguna untuk menunjukkan betapa berdosa dan lemahnya kita, tetapi tidak pernah mampu menyelamatkan.
Ketika kita akhirnya menyerah dan mengakui bahwa kita tidak mampu, pada saat itulah kita “mati” terhadap sistem lama.
Kematian ini adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang sebenarnya.
Kita berhenti dari usaha memanjat tangga menuju surga dan mulai menerima undangan untuk masuk ke dalam kasih karunia-Nya.
Kehidupan baru itu digambarkan dengan sangat indah: “bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”
Ini adalah jantung dari kekristenan.
Hidup Kristen bukanlah tentang kita berusaha meniru Yesus dari luar, tetapi tentang Kristus sendiri yang tinggal di dalam kita dan mengubah hidup kita dari dalam.
Identitas kita yang baru bukan lagi “si pendosa yang berusaha jadi baik”, tetapi “orang yang didiami oleh Kristus”.
Kekuatan untuk mengatasi pencobaan, kemampuan untuk mengasihi orang yang sulit dikasihi, dan keberanian untuk melalui badai kehidupan, semua bersumber dari Kristus yang hidup di dalam kita.
Kita hidup dengan bergantung sepenuhnya (oleh iman) kepada-Nya yang telah mengasihi kita sampai mati di kayu salib.
Lalu, bagaimana kita menerapkan kebenaran yang dalam ini?
Pertama, berhentilah berusaha dan mulailah mempercayai.
Setiap kali Anda merasa gagal dan tidak layak, ingatlah bahwa keselamatan bukan tentang prestasi Anda, tetapi tentang karya Kristus yang sudah selesai.
Kedua, undanglah Kristus untuk mengambil alih.
Dalam setiap situasi, tanyalah, “Yesus, bagaimana Engkau ingin menghadapi ini melalui diriku?” Hidup oleh iman adalah proses belajar mendengar suara-Nya dan taat setiap hari.
Ketiga, hargailah kasih karunia.
Jangan kembali kepada aturan-aturan yang membuatmu merasa nyaman secara agama tetapi justru meniadakan salib.
Ketika kamu jatuh, jangan lari dari Allah, tetapi larilah kepada-Nya dan terima lagi pengampunan-Nya.
Biarkan kebenaran bahwa “Kristus hidup di dalamku” menjadi sumber sukacita, kekuatan, dan identitasmu yang paling utama.
Diskusikan dengan pembimbingmu, bagaimana caranya mematikan manusia lama, dan hidup sebagai manusia baru.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Siapakah yang pikirannya tumpul dan apa penyebabnya?
Apakah yang terjadi kepada pikiran seseorang yang bertobat?
Apakah yang dimaksud dengan segambar dengan Yesus?
“….Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar….” (2 Korintus 3:18).
Pada zaman Rasul Paulus, banyak orang Yahudi yang sangat menghormati Hukum Taurat Musa tetapi gagal melihat bahwa semua ritual dan korban dalam Perjanjian Lama hanyalah bayangan dari Kristus yang akan datang.
Mereka membaca Kitab Suci dengan “selubung” yang menutupi pengertian mereka, sehingga yang mereka lihat hanyalah aturan-aturan yang harus dipatuhi, bukan Juru Selamat yang dikirim untuk menebus mereka.
Selubung ini membuat mereka terfokus pada ritual keagamaan tanpa mengalami perubahan hati.
Mereka sibuk dengan yang lahiriah, tetapi hati mereka tidak diubah.
Inilah bahaya yang juga mengintai kita saat ini: melakukan ritual agama tanpa memiliki hubungan pribadi dengan Kristus.
Kabar baiknya adalah, selubung yang menutupi hati dan pikiran kita telah diangkat oleh Tuhan Yesus Kristus!
Ketika kita berbalik kepada-Nya dalam pertobatan dan iman, mata rohani kita dibukakan.
Kita mulai membaca Alkitab dengan perspektif yang baru.
Kita tidak lagi melihat Perjanjian Lama sebagai dongeng masa lalu, tetapi sebagai janji Allah yang digenapi dalam diri Yesus.
Kita tidak lagi membaca “jangan berzinah” atau “harus mengasihi” hanya sebagai perintah yang mustahil kita lakukan, tetapi sebagai undangan untuk mengalami kasih karunia dan kuasa Roh Kudus yang memampukan kita untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Kristus adalah kunci yang membuka seluruh isi Alkitab dan membuatnya hidup dan cocok bagi kita.
Setelah selubung diangkat, kita memasuki sebuah perjalanan yang menakjubkan: kita “diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya.”
Perhatikan bahwa ini adalah sebuah proses.
Paulus menggunakan frasa “dari kemuliaan kepada kemuliaan,” yang menggambarkan perubahan bertahap dan terus-menerus, seperti ulat yang berubah menjadi kupu-kupu.
Proses ini bukan hasil usaha kita sendiri dengan mencoba lebih rajin beribadah atau berbuat baik.
Ini adalah karya Roh Kudus di dalam diri kita.
Peran kita adalah dengan “muka yang tidak berselubung, kita memandang kemuliaan Tuhan.”
Artinya, kita harus dengan tekun dan konsisten merenungkan Kristus—melalui Firman-Nya, dalam doa, dan dalam penyembahan.
Semakin kita memandang Dia, semakin sifat-sifat-Nya—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan—terpantul dalam hidup kita.
Lalu, bagaimana prinsip firman Tuhan ini diterapkan dalam hidup kita sehari-hari?
Pertama, bertobatlah dari ketergantungan pada diri sendiri.
Berhentilah berusaha menjadi baik dengan kekuatan sendiri.
Akui bahwa hanya Kristus yang dapat mengubahmu.
Kedua, alokasikan waktu setiap hari untuk “memandang Dia.”
Bacalah Alkitab bukan sekadar untuk menambah pengetahuan, tetapi untuk berjumpa dengan Pribadi Yesus.
Renungkan kebaikan, kuasa, dan pengorbanan-Nya bagimu.
Ketiga, percayalah pada karya Roh Kudus.
Ketika kamu menghadapi pencobaan atau kegagalan, ingatlah bahwa perubahan itu proses.
Allah tidak terburu-buru.
Dia dengan setia mengerjakan dalam dirimu dari satu tingkat kemuliaan kepada tingkat yang lain.
Hidupmu adalah kanvas-Nya, dan Dia sedang membuatmu semakin serupa dengan gambar Anak-Nya.
Terimalah kebebasan dan anugerah yang ditawarkan-Nya, dan biarkan kemuliaan-Nya semakin nyata melalui hidupmu.
Diskusikan dalam kelompok PA, bagaimana caranya membaca dan merenungkan firman Tuhan yang efektif.
Bacalah bagian Firman ini utuh dalam perikopnya, berulang-ulang, supaya Anda dapat mengikuti jalan ceritanya, dapat menangkap arti yang dikandungnya.
Apa yang menyebabkan rasul Paulus bersukacita karena Jemaat di Kolose?
Tugas apa yang dipercayakan oleh Allah kepada rasul Paulus?
Apa yang dirahasiakan selama berabad-abad?
Apa yang menjadi berita utama dalam ajaran atau nasihat rasul Paulus?
Apa yang diusahakan dan digumulkan oleh rasul Paulus dalam mengajar dan menasihati jemaat?
Saudara, ketika kita mengalami kelahiran baru, maka keadaan kita menjadi seperti bayi yang baru lahir, dan Rasul Paulus menyatakannya dengan jelas:
Kolose 2:6-7“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.”
Dan Rasul Petrus juga membuat pernyataan kepada para bayi rohani ini:
1 Petrus 1:23“Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal.”
1 Petrus 2:2-3“Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan, jika kamu benar-benar telah mengecap kebaikan Tuhan.”
Dari ayat-ayat firman Tuhan ini, kita belajar bahwa ketika kita mengalami kelahiran baru, maka kita menjadi seperti bayi yang selalu menginginkan air susu sebagai makanan.
Hendaklah kita tetap ada di dalam Yesus Kristus, supaya kita berakar, artinya selalu memperoleh makanan rohani sehingga kita bertumbuh dan dibangun di atas dasar Kristus.
Oleh Roh Kudus yang dianugerahkan Allah Bapa dalam nama Yesus, Tuhan kita, kita mengalami pertumbuhan sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya.
Dengan menjauhi perkara kesia-siaan yang berasal dari dunia, dosa, dan pelanggaran terhadap kebenaran, dianjurkan agar kita tidak menjauhi persekutuan atau menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah:
Ibrani 10:24-25“Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
Dengan saling memperhatikan, akan timbul di hati dan pikiran kita dorongan untuk saling mendorong dan menasihati, sehingga kita semua bertumbuh dan terus dibangun di dalam Kristus.
Roh Kudus akan membuka mata kita ketika kita memperhatikan saudara kita, kebutuhan dan persoalannya.
Melalui hal itulah Tuhan akan memperlengkapi kita, sehingga kita dapat menolong, mendorong, dan membantu saudara yang kita perhatikan.
Saudara, kita adalah Tubuh Kristus yang terdiri dari berbagai anggota, seperti tangan, mata, hidung, telinga, kaki, dan lain-lain.
Kita semua memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan bentuk dan peran masing-masing, serta kita berbeda dalam berbagai sudut pandang.
Oleh karena itu, janganlah kita saling menghakimi hanya karena bentuk atau peran yang berbeda, dan bertanya mengapa kita tidak sama.
Saudara, Tuhanlah yang membentuk kita, dan Dia hendak membentuk kita sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya.
Rasul Paulus dengan jelas menuliskan dalam suratnya kepada jemaat di Roma:
Roma 8:26-30“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus. Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”
Jadi sangat jelas bahwa Tuhan Allah menginginkan anak-anak-Nya menjadi serupa dengan gambar dari Yesus yang juga merupakan gambaran Allah yang tidak kelihatan.
Sejak semula, Allah Bapa menghendaki agar manusia ciptaan-Nya menjadi gambaran dan rupa Dia, Allah yang tidak terlihat:
Kejadian 1:26-28“Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, Pencipta langit dan bumi.
Namun, karena dosa, gambar Allah itu menjadi rusak, manusia mengalami kematian, dan murka serta kutuk Allah berada di atas manusia, sehingga segenap dorongan hatinya selalu ingin berbuat dosa.
Hal itulah yang menyebabkan Tuhan Allah, Bapa kita yang maha kasih, berkeinginan supaya manusia kembali kepada apa yang telah direncanakan-Nya sejak semula.
Tuhan Allah, Bapa kita, tidak pernah gagal.
Oleh karena itu, Dia menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan, Allah yang Maha Kuasa.
Maka, apa yang Dia nyatakan dahulu melalui firman-Nya ketika Tuhan hendak menciptakan manusia harus dipulihkan, dan semua cita-cita Allah ketika manusia diciptakan harus kembali sesuai dengan rencana-Nya.
Sejak awal penciptaan, Tuhan merencanakan supaya manusia berkuasa.
Dan puji Tuhan, itulah yang Tuhan kembalikan ke dalam gereja-Nya, kuasa melalui kehadiran Roh Kudus dalam hidup manusia sebagai milik kepunyaan-Nya.
Oleh kuasa firman Allah dan kuasa Roh Kudus, jemaat Tuhan di dalam gereja Yesus Kristus mengalami pemulihan, pengudusan, dan pembenaran, serta juga mengalami pemuliaan.
Semua itu dilakukan oleh Tuhan Allah sendiri melalui kuasa firman-Nya dan kuasa Roh Kudus-Nya.
Haleluya, Puji Tuhan, Amin.
Apa yang menjadi kunci keberhasilan seorang anak Tuhan, yaitu orang percaya yang telah lahir baru, untuk mengalami keserupaan dengan Yesus Kristus?